NEGARA MODERN TANPA TUHAN (MENELISIK PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN JOHN STUART MILL)

NEGARA MODERN TANPA TUHAN
(MENELISIK PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN JOHN STUART MILL)

Oleh: M. Afif al-Ayyubi, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta

Percikan Kultur Renaissance
Sejarah yang lazim disebut ‘modern’ ditandai dengan runtuhnya otoritas gerejawi (ketuhanan) digantikan otoritas sains. Otoritas gereja tadinya mendominasi kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Mengekang kebebasan berpikir karena doktrin gereja yang menyatakan bahwa menyelidiki alam sama dengan menyelidiki kekuasaan Tuhan yang dianggap dosa.

Otoritas sains bersifat intelektual, bukan politis. Artinya tidak ada hukuman bagi mereka yang menolak otoritas sains, juga tidak ada nasihat-nasihat untuk membujuk masyarakat menerimanya. Dengan kata lain otoritas sains lebih diterima oleh masyarakat menggantikan otoritas gereja semata-mata karena daya tarik intrinsiknya bagi akal. Pembebasan dari otoritas gereja itulah yang mendorong tumbuhnya individualisme, disiplin, intelektual, moral, dan politik oleh manusia-manusia renaissance.

Otoritas gereja dikikis oleh faham rasionalisme yang mulai berkembang. Dipelopori oleh Rene Descartes, rasionalisme mengajarkan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama.

Perlahan-lahan gereja mulai kehilangan otoritasnya yang absolut. Dirongrong oleh gerakan skisma dan heresi (gerakan menentang ajaran iman dan moral gerejawi) dan bangkitnya gerakan-gerakan nasionalisme. Masyarakat Eropa mulai memperhatikan pada cara-cara meraih kebahagiaan di dunia daripada kebahagiaan di alam baka. Masyarakat berlomba-lomba memasuki kawasan kota dagang dan kota industri dengan tujuan mengubah kehidupan ekonomi ke arah yang lebih baik. Kemudian, negara-negara mulai menggantikan gereja sebagai otoritas politik yang mengontrol masyarakat.

Renaissance melahirkan filsuf-filsuf berpengaruh abad pertengahan. Rene Descartes dan B. Spinoza, John Locke, Thomas Hobbes, David Hume, JJ. Rousseau, hingga Montesquieu telah melahirkan pikiran-pikiran besar dalam bidang humanisme, filsafat, sosial, dan politik.

Pra-Revolusi Prancis
Pemerintahan Louis XIV bersifat monarki absolut. Semboyan Louis XIV adalah l'etat c'est moi (negara adalah saya). Untuk mempertahankan keabsolutan kekuasaannya, ia mendirikan penjara Bastille. Penjara yang diperuntukkan bagi siapa saja yang berani menentang keinginan raja dan terhadap orang-orang yang tidak disenangi raja. Mereka ditahan dengan surat penahanan tanpa sebab (lettre du cas). Absolutisme Louis XIV tidak terkendali karena kekuasaan raja tidak dibatasi undang-undang. Raja dianggap selalu benar.

Latar belakang Revolusi Perancis pada dasarnya disebabkan oleh faktor ketidakadilan politik, kekuasaan raja yang absolute, dan krisis ekonomi. Nepotisme yang berkembang di lingkungan kerajaan menyebabkan ketidakadilan dalam bidang politik. Pemilihan pegawai-pegawai pemerintah yang berdasarkan keturunan dan bukan berdasarkan profesi atau keahlian, Hal ini menyebabkan administrasi negara menjadi kacau dan berakibat munculnya tindakan korupsi. Ketidakadilan politik lainnya adalah tidak diperkenankannya masyarakat kecil untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan.

Krisis ekonomi pada masa Louis XVI disebabkan kehidupan raja dan para bangsawan istana serta permaisuri Louis XVI, Maria Antoinette (terkenal dengan sebutan Madame deficit) hidup penuh dalam kemewahan.  Ditambah adanya warisan hutang dari Raja Louis XIV dan Louis XV menjadikan hutang negara makin menumpuk.

Raja Prancis, Louis XVI menyadari bahwa masalah keuangan negara dapat teratasi bila setiap orang membayar pajak. Satu-satunya cara untuk mengatasi krisis keuangan ini adalah dengan cara memungut pajak dari kaum bangsawan, tetapi golongan bangsawan menolak dan menyatakan bahwa yang berhak menentukan pajak adalah rakyat.

Montesquieu dan Teori Pembagian Kekuasaan
Nama Lengkapnya Charles-Louis de Secondat  Baron de La Brède et de Montesquieu (1689-1755). Keluarga Montesquieu termasuk kaum bangsawan. Kakeknya adalah Presiden Parlemen Bordeaux. Ayahnya, Jacques de Secondat, adalah anggota pengawal kerajaan. Ibunya, Marie Francoise de Penel, yang wafat saat Montesquieu berumur sebelas tahun, berasal dari keluarga Inggris-Gascon.

Teori pembagian kekuasaan Montesquie dikenal sebagai Trias Politica. Konsep pemerintahan yang kini banyak dianut oleh berbagai negara di dunia. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Konsep ini bertujuan agar kekuasaan tidak hanya dilimpahkan pada suatu kekuasaan tertinggi di suatu negara, melainkan kekuasaan tersebut dibagi lagi kedalam beberapa lembaga lembaga yang terorganisir dalam sebuah struktur pemisahan kekuasaan. Salah satu yang mendasari pemisahan kekuasaan adalah menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan oleh suatu penguasa sehingga terjadi tiran.

Trias Politica pertama kali diperkenalkan John Locke (1632-1704) dalam magnum opusnya yang berjudul Two Treatises of Government. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut.

Di masa ketika Locke hidup, properti-properti milik setiap orang berada dalam posisi rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Seringkali raja secara sewenang-wenang melakukan akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Maka adanya negara bertujuan untuk melindungi milik pribadi. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya pemisahan kekuasaan agar kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu.

Trias Politica awal yang dipopulerkan Locke terdiri dari Legislatif, Eksekutif, dan Federatif. Kemudian setelah membaca John Locke, Montesquieu menulis Spirit of the Laws. Di dalamnya menjelaskan tentang konsep pemisahan kekuasaan yang terdiri dari Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Trias Politica Montesquieu memisahkan tiga macam kekuasaan:
1. Kekuasaan Legislatif tugasnya adalah membuat undang-undang (mengatur dan menetukan peraturan)
2. Kekuasaan Eksekutif tugasnya adalah melaksanakan undang-undang (melaksanakan peraturan, dan kekuasaan yang mengawasi peraturan)
3. Kekuasaan Yudikatif tugasnya adalah mengadili pelanggaran undang-undang

Utilitarianisme John Stuart Mill
Utilitarianime pada awalnya dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), filsuf utilitarian Inggris yang merupakan sahabat dari ayah John Stuart Mill, James Mill. Bentham mendasarkan utilitarianisme pada hedonisme psikologis. Yakni manusia menurut kodratnya berusaha mengejar kebahagiaan dan menghidari rasa sakit. Baginya, kebahagiaan manusia perlu diusahakan, semakin besar jumlah orang yang menikmatinya maka semakin baik. Manusia hidup bersama-sama tidak sendirian. Apabila ada kebijakan atas nama kepentingan bersama maka kepentingan pribadi harus tunduk pada kepentingan bersama.

Menurut Bentham, tujuan hukum adalah dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu baru orang banyak. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan. yakni untuk memberi nafkah hidup, untuk memberikan nafkah makanan berlimpah, untuk memberikan perlindungan, untuk mencapai persamaan. Tujuan utama hukum adalah untuk memajukan kepentingan para warga Negara dan bukan memaksakan perintah-perintah Tuhan atau melindungi apa yang disebut hukum-hukum kodrati.

John  Stuart  Mill (1806-1873) lahir di London merupakan anak dari James Mill. Sejalan dengan pemikiran Bentham, Mill memiliki pendapat bahwa suatu perbuatan hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagian. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.

Mill berargumen, bahwa sejak semula manusia tidak menginginkan keutamaan (atau uang dan sebagainya) demi dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia. Karena manusia menyadari bahwa ia hanya dapat menjadi bahagia apabila ia memiliki keutamaan, maka ia mengusahakan agar ia memilikinya. Tetapi dengan terus mengejar keutamaan, lama-kelamaan keutamaan dikaitkan sedemikian erat dengan kebahagiaan itu sendiri sehingga seakan-akan menjadi bagian dari kebahagiaan.

Namun berbeda dengan Bentham, Mill berpendapat bahwa kebahagiaan itu sendiri punya kualitas sehingga tolak ukur sebuah pilihan bukan hanya aspek kuantitatif tapi juga kualitatif. Suatu perbuatan adalah benar sejauh perbuatan itu menghasilkan kebahagiaan yang berkualitas. Begitu juga kesenangan manusia harus lebih tinggi dari pada kesenangan hewan yang tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan manusia. Standart moral dari kebahagiaan utilitarian adalah dari apa yang benar tidak hanya baik menurut diri sendiri tetapi juga untuk kebaikan orang lain.

Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa Mill bejuang keras untuk mencoba menjawab keberatan-keberatan yang ditujukan pada utilitarianisme. Dua pembelaan penting yang dilakukan Mill terhadap utilitarianisme :

Pertama, Mill menolak tuduhan bahwa utilitarianisme memandang nikmat jasmani sebagai tujuan hidup manusia. Ia menegaskan bahwa nikmat itu ada banyak macam, bukan hanya nikmat jasmani belaka. Selain nikmat jasmani, ada juga nikmat rohani, misalnya nikmat estetis atau kebijaksanaan. Nikmat rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Demi nikmat lebih luhur, kita boleh saja melepaskan nikmat yang lebih rendah. Mill mengungkapkan keyakinannya itu dalam kalimat termasyurnya: “Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas ; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada menjadi seorang tolol yang puas”..

Kedua, Mill menolak tuduhan bahwa utilitarianisme sebagai etika yang egois. Sebab yang sebenarnya dituntut Utilitarianisme bukan setiap orang mengusahakan kebahagiaannya sendiri, melainkan agar ia mengusahakan kebahagiaan sebesar-besarnya dari semua orang yang terkena dampak tindakan kita. Kebahagiaan si pelaku sendiri tidak diunggulkan, akan tetapi justru termasuk dalam kalkulasi kebahagiaan semua orang. Bahkan utilitarianisme menuntut agar seseorang mengorbankan nikmatnya sendiri, ketika usaha mencapai nikmat diri tersebut akan menggagalkan nikmat lebih besar yang dapat dicapai orang lain. Utilitarianisme mencari keuntungan untuk semua orang yang bersangkutan dengan suatu tindakan tertentu.

Etika yang diajarkan dalam Utilitariasnime John Stuart Mill memengaruhi  pengambilan kebijakan hukum di berbagai negara modern. Bahwa yang harus dijadikan landasan dalam hukum sudah bukan lagi kesenangan Tuhan yang ditafsirkan oleh kaki tangan-Nya di muka bumi melainkan didasarkan pada kebahagiaan manusia sebagai subyek yang menyelenggarakan dan menjalankan hukum.


Liberalisme Sosial John Stuart Mill
Melanjutkan liberalisme awal yang dibawa oleh John Locke, Mill mulai mempopulerkan apa yang disebut Liberalisme Sosial dan teori tentang Tirani Mayoritas. Liberalisme Sosial melahirkan Liberalisme Ekonomi. Ciri-cirinya di antaranya; semua sumber produksi adalah milik individu, pemerintah tidak boleh mengakuisisi dan mengintervensi, timbulnya persaingan ekonomi dalam masyarakat, seluruh aspek kehidupan mempertimbangkan pasar, serta pasar merupakan dasar dari setiap tindakan ekonomi.

Oleh karena setiap tindakan ekonomi selalu didasarkan pada pasar, maka muncullah Free Market / ‘Pasar Bebas’. Logika pasar bebas ini mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia. Munculnya cafe-cafe, barbershop dengan desain modern, toko-toko pakaian dengan desain kekinian, dan sebagainya, semuanya dibuat berdasarkan kemauan pasar. Bahkan jika kita mempertanyakan kenapa ada Acara-acara di televisi yang secara kualitas mutu sangat rendah masih juga ditayangkan, tidak lain adalah logika pasar bebas, karena tayangan tersebut masih laku di masyarakat.

Kita sering mempertanyakan tentang mengapa konten pornografi dan perjudian di internet tidak kunjung hilang dari muka bumi ini, malah semakin hari semakin berkembang, jawabannya adalah pasar, karena konten tersebut diam-diam masih digemari oleh masyarakat. Bahkan Indonesia, negara yang masyarakatnya menjunjung tinggi kearifan lokal dan spiritual-religius ini menjadi salah satu dari negara-negara dengan konsumen penikmat konten pornografi terbesar di dunia.

Sampai para calon mahasiswa yang hendak melanjutkan studinya di tingkat perkuliahan. Apa landasan berpikir mereka memantapkan hati untuk memilih jurusan tertentu di perguruan tinggi? Pasar!
Manusia mulai kehilangan esensi dari hidupnya. Ia mulai lupa akan kebahagiaan sejati. Seringkali pertemanan, hubungan sosial, hingga mencari pasangan hidup, didasari oleh logika pasar. Manusia sibuk mengejar materi tiada henti, melebur dalam pangsa pasar. Tersisa satu pertanyaan besar yang masih mengganjal dalam pikiran, apakah jangan-jangan masyarakat kita dalam beragama juga berdasarkan logika pasar?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL

MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT

GAGASAN MANUSIA TENTANG SEKS