MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT

MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT

Oleh: Mario Prakoso, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta

Kita harus mengakui, hari ini, filsafat benar-benar tersingkirkan dari pentas keilmuan dunia. Selaiknya kematian akademi Plato pada abad pertengahan akibat dibunuh oleh otoritas agawaman yang berselingkuh dengan penguasa, kini kejadian serupa berulang namun dengan subjek yang berbeda, sains. Membunuh filsafat adalah bukan dengan membatasi ruang geraknya atau menutup wahana kulturnya dan interaksi objek kajiannya, melainkan ditundukkan dalam ordonansi positivistik dan keniscayaan pasar.

Mula-mula, para filosof adalah filsuf sekaligus saintis. Mereka banyak membicarakan alam dalam kerangka filsafat, atau filsafat dalam kerja alam, atau menyusun tesis antara filsafat dan sains dalam satu kesatuan holistik yang tak mungkin didikotomikan. Namun pada hari ini kita dapati keduanya berjalan terpisah, bersegregasi, bersebrangan demi menjaga prinsip linear dan interdisipliner ilmu, suatu upaya objektifikasi yang memberenggus habis genealogi dan integrasi antar keduanya sehingga memunculkan universalitas.

Filsafat di era kontemporer terlebih lagi dalam pandangan sains, hanya dianggap kritik palsu atas objek metafisis yang tak mampu dimanifestasikan secara parktis. Ia hanya akan terus bertanya untuk terus menemukan pertanyaan lagi, dan tak mampu memberikan pemecahan atas persoalan-persolan kontemporer. Sebaliknya sains, yang telah mengukuhkan diri sebagai ratu pengetahuan, penguasa otoritas kebenaran, mengklaim mampu menjadi dan memberi solusi atas setiap anomali dunia.

Tak ada lagi produksi filsafat atas pandangan dunia terlebih lagi zeitgeist. Filsafat hanya menjadi wahana bagi manusia-manusia penyendiri yang memiliki banyak khayalan dan senang berdialektika. Atau paling tidak, jika tak memproduksi romentisme Socrates, Plato atau Aristoteles, pasti membicarakan kegemilangan Rene Descartes, Hegel dan Kant. Maka tak mengherankan jika dalam perkuliahan, kedirian fakultas filsafat hanya untuk melengkapi khazanah keilmuan. Selebihnya dengan berdirinya fakultas dan jurusan filsafat hanya untuk memberikan peluang kerja bagi lulusan sarjana dengan kredensial yang bisa digunakan untuk  pegawai tanpa ada pengemban lebih.

Sedangkan sains, berbondong-bondong orang untuk berusaha merebut perhatiannya. Entah menjadi dokter, botani, astronomi, atau fisikawan. Sebab orientasinya adalah demi tuntutan hidup. Sehingga benar apa yang dinyatakan oleh kalangan Mazhab Frankfurt jika sains kini telah menjadi ideologi. Dengan adanya sains yang mengafirmasi “bebas nilai”, kebebasan nilai ini kemudian dimanfaatkan bagi relasi dan dominasi kuasa. Lihat saja, berapa banyak ilmuan yang dimanfaatkan untuk mengeksploitasi alam dengan alasan sumber daya alam alternatif, atau ilmuwan yang terus dipacu merekayasa manusia demi simulakra penguasa. Dengan sikap bebas nilai, tentu saja yang dikehendaki adalah nilai universal yang secara simplifikasi diditerminasi oleh sains. Dari sini kemudian tendensi-tendensi hegemonik-tiranik sulit diidentifikasi.

Dan sekali lagi, filsafat yang telah bersegregasi dari sains, hanya digunakan sebagai pelacur untuk memenuhi hasrat kebenaran parsial. Relasi antara filsafat dan sains memang kita sepakati berada pada filsafat ilmu, tapi sekali lagi perlu kita tegaskan itu hanyalah apologi yang dibangun untuk kepentingan sains semata. Jika kita tarik akar historis sains yang lahir dari perdaban barat adalah lewat rahim filsafat setelah melakukan penerjemahan atas teks-teks Arab dengan mengakomodasi teks-teks Yunani. Dari situlah kemudian lahir pemikiran-pemikiran sekaliber Rene Descartes, seorang tentara yang senang bermimpi, membangun landasan epistemologis bagi berdirinya konstruk filsafat modern.

Coba kita bertanya, apakah sains merupakan alat dari filsafat atau filsafat alat dari sains? Walaupun Bertnand Russel menjawab ciri khas modernisme adalah pembedaan antara ilmu praktis yang diambil alih oleh sains dengan teknologi, dan ilmu teoritis yang banyak dibicarakan filsafat, tetapi bisa kita menjawab bahwa realitasnya filsafat kini menjadi alat bagi sains. Padahal filsafatlah yang melahirkan sains. Jika ini dibiarkan terus, filsafat akan benar-benar tereduksi kedalam nilai guna semata. Jika itu terjadi, alienasi atas ilmu pengetahuan tak terhindarkan. Bagaimana kemudian kita hanya akan menjadi subjek-objek, benar-salah, sebagai konsekuensi dari logosentrisme modern.

Dan dunia akan dibangun dalam paradigma mekanistik, tanpa jiwa, tanpa nilai, tanpa transenden, kita bukan lagi skeptis tapi berangkat jauh ke negasi hingga akhirnya muncul nihilisme. Berapa banyak kita membicarakan eksistensi tanpa menyentuh esensi, menganggap persoalan tersebut tak lebih dari sebuah ilusi. Semua harus teruji, terverifikasi, demi kebenaran yang sejati. Manusia tak lebih dari seonggok subjek empiris yang memiliki daya guna, daya teliti, suatu kedudukan prestisius yang tanpa pernah sekalipun curiga hendak diapakan kebenaran verifikatif ini oleh para pemilik modal dan penguasa. Bukankah wawasan Cartesian demikian?

Kedengarannya terlalu leceh jika kita katakan filsafat terlacurkan, terkesan sangat insuatif. Dan sayangnya, bisa kita saksikan hari ini kenyataannya. Diksi modernisme yang digunakan saat ini sudah tak lagi ontologis, sebab filsafat semenjak tahun 1950 lewat Nietzsche, Heidegger, Lyotard dan Baudrillard, mendeskripsikan titik akhir modernisme, bahwa modernitas dinyatakan telah kehilangan kemampuan kritisnya sehingga ia tak mampu lagi menemukan tujuan teleologis dan utopis yang hendak dicapainya, demikian yang dikutip oleh Yasraf Piliang.

Dengan demikian, eksistensi modernisme sebenarnya sudah lapuk dan boleh dikatakan tergantikan dengan usulan dari para filosof pasca modernisme yang disebut posmodernisme. Aufklarung yang disebut pencerahan dalam diskursus filsafat modern, sebenarnya adalah sebuah proses penyempurnaan secara kumulatif kualitas subjektifitas dengan segala kemampuan objektif akal budi dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan kemajuan. Determinasi manusia atas mitos dan spiritualitas menentukan gerak subjektif sejarah manusia. Manusia modern tidak memerlukan landasan nilai, kebenaran atau legitimasi selain dalam dirinya sendiri. Manusia hanya memiliki kepentingan dan konsekuensi atas dirinya sendiri, dan tentunya ini prinsip yang sangat destruktif.

Maka kemudian apakah akhir dari filsafat modern mempengaruhi eksistensi modernitas sebagai budaya massa? Filsafat perlu melakukan retrospektif yang tak sekedar menghindari skisme. Jika ternyata masa depan yang dalam proses kemenjadian itu mendistorsi filsafat, mengulitinya bagai Oedipus merenggut nyawa Lauis dan mewarisi janda sekaligus ibunya, Jacosta, maka kita perlu melirik sejenak Nietzsche dalam bukunya “Lahirnya Tragedi”, perlunya masyarakat kembali ke masyarakat primitif yang disimbolkannya dengan Dionysos, yaitu meleburnya manusia dengan jantung dunia, kehendak dan keberadaan. Jika kenihilan adalah esensi, mengapa kita masih menipu diri kedalam modernisme?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL

GAGASAN MANUSIA TENTANG SEKS