MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL

MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL
Oleh: Mario Prakoso, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta
“Harmonisasi Kebangsaan dalam Bingkai Keindonesiaan”
Indonesia adalah tamansari bangsa-bangsa, demikian ungkapan Soekarno dalam mendefiniskan Indonesia. Tamansari bangsa-bangsa yang disebutkan Soekarno tentu saja bukan hanya slogan tanpa makna, melainkan berasal dari realitas sejarah serta sosial yang telah mengkristal dalam nilai keindonesiaan kita, bhinneka tunggal ika.
Keharmonisan bangsa Indonesia di tengah-tengah kepluralan merupakan pencapaian yang luar biasa prestisius. Kita perlu berbangga menjadi bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi perbedaan. Dalam hal ini, realitas beragam macamnya suku, ras, bahasa dan agama, yang telah terbentuk ratusan tahun lamanya bukan dalam skema penaklukan, tetapi melalui asimilasi dan akulturasi yang tidak pernah terjadi di berbagai peradaban lainnya.
Kita bisa melihat bagaiman Eropa dengan kolonialisme dan imperialismenya memberikan implikasi buruk bagi dunia timur hingga saat ini. Jika Ditarik lebih jauh lagi, bagaimana peradaban Romawi dengan hellenismenya, ternyata tercipta dari penaklukan demi penaklukan. Peradaban Persia, Mesir dan Arab pun tak lepas dari peperangan yang silih berganti demi menciptakan suatu masyarakat homogen yang berkuasa. Nusantara yang belum menjadi Indonesia, telah melalang jauh hingga ke Madagaskar tanpa pernah melalui proses penaklukan.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Indonesia yang plural kini sedang dirundung berbagai permasalahan multidimensi terutama dalam dimensi sosial. Menguatnya radikalisme agama yang berujung pada ekstrimisme, mengikis habis nilai-nilai kemanusian yang menjadi dasar bagi bangsa Indonesia. Agama yang seharusnya menjadi rumah kemanusian berganti menjadi ruang-ruang gelap yang berisi perselisihan dan kebencian.
Berbagai peristiwa yang akhir-akhir ini menyesakkan dada. Menguatnya politik identitas, diskriminasi rasial, hingga kekerasan atas nama agama, seakan-akan merontokkan prinsip kebhinnekaan yang telah kita anut lama. Jika berbagai krisis sosial ini dibiarkan berlanjut, maka yang akan terjadi selanjutnya adalah konfrontasi, separasi, dan dikotomi. hal ini sangat laten untuk meleburkan Indonesia sekadar sejarah yang pernah dikenang.
Salah satu penyebab dari terjadinya berbagai problematika sosial ini adalah banalnya Pancasila yang hanya dianggap sebagai pondasi kebangsaan tanpa pernah mampu menyelami kedalaman esensi yang dikandungnya. maka Pancasila tak pernah menjadi suatu substansi utuh kebangsaan sehingga kehilangan eksistensinya. Ia hanya dihafalkan, dirapalkan, sebagai tanda tanpa penanda. Diketahui, diimaji, dan diinterpretasi namun penuh dengan distorsi. Maka penggalian akan falsafah Pancasila menjadi urgensi untuk dilakukan.
Bagaimana kelima butir Pancasila harus dimaknai secara holistik bukan temporal. Sila pertama, harus dijiawai oleh sila kedua, ketiga, dan seterusnya. Sebaliknya, kelima sila tersebut adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ketuhanan harus selaras dengan kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan. Ketuhanan yang justru mengorbankan kemanusiaan adalah hal yang kontraproduktif atas Pancasila. Demikian juga dengan kemanusiaan yang tuna ketuhanan. 
Maka pada akhirnya, jika kita refleksikan Pancasila ke dalam sendi-sendi kehidupan secara holistik, akan terlahirlah harmonisasi kebangsaan. Mengikikis berbagai perbedaan yang menganga dengan menyayangi, mencintai, dan mengasihi manusia bukan atas dasar persamaan, tapi karena kita memahami perbedaan. Kita takkan terus berusaha untuk membangun keuniversalitasan jika mengorbankan orang lain karena berbeda dan mulai membangun masyarakat multikultural yang harmonis, guyub, rukun dan makmur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT

GAGASAN MANUSIA TENTANG SEKS