Postingan

‘LIRE LE’ LOUIS ALTHUSSER (MEMBACA LOUIS ALTHUSSER)

‘LIRE LE’ LOUIS ALTHUSSER   ( MEMBACA LOUIS ALTHUSSER )   Oleh: M. Afif al-Ayyubi, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta Apa Itu Ideologi? Kita sering melihat orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak berideologi, padahal tidak berideologi itu salah satu bentuk ideologi. Justru ketika seseorang tidak memiliki ideologi ia akan mengalami disoriented, tidak mempunyai tujuan, tidak mampu menghadapi kerumitan fenomena sosial-politik-ekonomi, dan tidak tahu apa yang ia sedang dan akan lakukan. Selama ini kita takut atau mengalami phobia terhadap kata “ideologi” karena ideologi identik dengan komunisme, padahal kapitalisme juga ideologi. Ideologi artinya kumpulan ide, keyakinan yang menyeluruh, sistematis, dan mengatur tingkah laku sekelompok manusia tertentu dalam berbagai bidang kehidupan.  Ideologi memiliki beberapa fungsi. Pertama-tama ia menjelaskan fenomena kondisi sosial-ekonomi, lalu menawarkan satu dasar untuk menilainya, setelah itu mengarahkan ke arah sos

NEGARA MODERN TANPA TUHAN (MENELISIK PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN JOHN STUART MILL)

NEGARA MODERN TANPA TUHAN (MENELISIK PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN JOHN STUART MILL) Oleh: M. Afif al-Ayyubi, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta Percikan Kultur Renaissance Sejarah yang lazim disebut ‘modern’ ditandai dengan runtuhnya otoritas gerejawi (ketuhanan) digantikan otoritas sains. Otoritas gereja tadinya mendominasi kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Mengekang kebebasan berpikir karena doktrin gereja yang menyatakan bahwa menyelidiki alam sama dengan menyelidiki kekuasaan Tuhan yang dianggap dosa. Otoritas sains bersifat intelektual, bukan politis. Artinya tidak ada hukuman bagi mereka yang menolak otoritas sains, juga tidak ada nasihat-nasihat untuk membujuk masyarakat menerimanya. Dengan kata lain otoritas sains lebih diterima oleh masyarakat menggantikan otoritas gereja semata-mata karena daya tarik intrinsiknya bagi akal. Pembebasan dari otoritas gereja itulah yang mendorong tumbuhnya indi

MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT

MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT Oleh: Mario Prakoso, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta Kita harus mengakui, hari ini, filsafat benar-benar tersingkirkan dari pentas keilmuan dunia. Selaiknya kematian akademi Plato pada abad pertengahan akibat dibunuh oleh otoritas agawaman yang berselingkuh dengan penguasa, kini kejadian serupa berulang namun dengan subjek yang berbeda, sains. Membunuh filsafat adalah bukan dengan membatasi ruang geraknya atau menutup wahana kulturnya dan interaksi objek kajiannya, melainkan ditundukkan dalam ordonansi positivistik dan keniscayaan pasar. Mula-mula, para filosof adalah filsuf sekaligus saintis. Mereka banyak membicarakan alam dalam kerangka filsafat, atau filsafat dalam kerja alam, atau menyusun tesis antara filsafat dan sains dalam satu kesatuan holistik yang tak mungkin didikotomikan. Namun pada hari ini kita dapati keduanya berjalan terpisah, bersegregasi, bersebrangan demi menjaga prinsip linear dan interdisipliner ilmu, suatu

MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL

MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL Oleh: Mario Prakoso, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta “Harmonisasi Kebangsaan dalam Bingkai Keindonesiaan” Indonesia adalah tamansari bangsa-bangsa, demikian ungkapan Soekarno dalam mendefiniskan Indonesia. Tamansari bangsa-bangsa yang disebutkan Soekarno tentu saja bukan hanya slogan tanpa makna, melainkan berasal dari realitas sejarah serta sosial yang telah mengkristal dalam nilai keindonesiaan kita, bhinneka tunggal ika. Keharmonisan bangsa Indonesia di tengah-tengah kepluralan merupakan pencapaian yang luar biasa prestisius. Kita perlu berbangga menjadi bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi perbedaan. Dalam hal ini, realitas beragam macamnya suku, ras, bahasa dan agama, yang telah terbentuk ratusan tahun lamanya bukan dalam skema penaklukan, tetapi melalui asimilasi dan akulturasi yang tidak pernah terjadi di berbagai peradaban lainnya. Kita bisa melihat bagaiman Eropa dengan kolonialisme da

MEMPARODIKAN PENAMPAKAN MANUSIA

MEMPARODIKAN PENAMPAKAN MANUSIA Oleh: Mario Prakoso, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta George Bataille, seorang pemikir Prancis dikutip dari Yasraf, dalam Dunia Yang Dilipat-nya menuturkan dengan puitis keberadaan dunia saat ini tak lebih dari sebuah parodi:             Setiap orang menyadari bahwa hidup adalah parodi dan karenanya miskin interpretasi             Perunggu parodi emas             Udara parodi air             Otak parodi khatulistiwa             Coitus parodi kejahatan Sebenarnya apa yang dituturkan Bataille adalah analogi bahasa yang merupakan salah satu ciri dalam filsafat bahasa strukturalisme Ferdinand De Saussure. Melalui parodi yang diungkapkan oleh Bataille, secara tersirat ia hendak menyatakan bahwa dunia dengan segala bentuk kebudayaannya dibentuk berdasarkan satu sistem yang disebut dengan sistem oposisi biner. Logosentrisme yang kental dalam pemikiran Baitille ini seolah menandaskan jika dirinya pendukung filsafat yang dip

PASANG SURUT REKOGNISI AGAMA LELUHUR DALAM POLITIK AGAMA DI INDONESIA

PASANG SURUT REKOGNISI AGAMA LELUHUR DALAM POLITIK AGAMA DI INDONESIA Oleh :Nur Amita Bachan   Mahasiswa AQIDAH & FILSAFAT ISLAM IAIN Tulungagung Penganut agama leluhur adalah sekelompok warga negara yang agama atau kepercayaannya dimaknai dan dipahami serta diberlakuhkan secara berbeda dari waktu ke waktu. Agama leluhur seperti halnya sebuah aliran penghayat kepercayaan dan masyarakat adat ini lebih merujuk kepada praktik-praktik keagamaan lokal (subjek materi) yang sering diklaim sebagai praktik animisme, magis, adat maupun budaya, dan seterusnya baik dalam wacana publik maupun linteratur (Maarif, 2016, 2017). Dimisalkan seperti sebuah praktik ritual-ritual sesajen yang diyakini dan dipercaya oleh beberapa penganutnya. Tetapi tidak keseluruhan dari para penghayat kepercayaan menerima sebagai penganut agama leluhur tersebut karena praktik ritualnya, melainkan dari berbagai pertimbangan mereka lebih suka jika praktik adat kepercayaan itu disebut sebagai budaya, dan bu