GAGASAN MANUSIA TENTANG SEKS
GAGASAN MANUSIA TENTANG SEKS
Oleh: M. Afif al-Ayyubi
Mahasiswa AQIDAH & FILSAFAT ISLAM IAIN Surakarta
Oleh: M. Afif al-Ayyubi
Mahasiswa AQIDAH & FILSAFAT ISLAM IAIN Surakarta
Manusia modern (homo sapien)
bertindak atas dasar 2 hal. Pertama oleh struktur genetik, kedua oleh imagined
reality. Hal-hal yang didorong oleh faktor-faktor genetik ini bisa kita sebut
insting. Seorang laki-laki memiliki birahi pada perempuan, itu dorongan gen.
Pada keadaan berbeda, ada orang yang memiliki gen berbeda, ia tertarik pada
yang sejenis, bukan lawan jenis. Perilaku genetik ini berfungsi menjaga
keturunan kita. Dengan berhubungan seks manusia terus memiliki keturunan,
sehingga tidak punah. Dalam hal ini kita tak berbeda dengan hewan lain. Saya
sebut hewan lain, karena secara biologis manusia (homo) itu hanyalah salah satu
jenis (genus) hewan.
Hal kedua yang mendorong dan
mengatur tindakan manusia adalah sesuatu yang disebut imagined reality. Ini
hanya dimiliki oleh manusia modern (homo sapien), tidak dimiliki oleh manusia
spesies lain, juga tidak dimiliki oleh hewan dari genus lain.
Imagined reality itu adalah realitas
yang tidak kongkrit, sesuatu yang abstrak, yang diciptakan oleh manusia secara
imajinatif. Manusia menciptakan mitos, legenda, cerita langit, yang membuat
mereka punya gagasan yang sama tentang sesuatu. Ini membuat mereka bisa
bergerak, melakukan sesuatu secara bersama, dalam kelompok yang sangat besar.
Agama dan negara adalah produk imagined reality tadi. Ia wujud secara kokoh
berbasis pada sesuatu yang hanya ada dalam pikiran manusia, tidak wujud di alam
materi.
Imagined reality membentuk
tatanan, menetapkan aturan-aturan, yang kita kenal sebagai tata krama, adat,
dan hukum. Hubungan seksual yang merupakan dorongan genetik, ikut diatur
berbasis imagined reality tadi.
Senggama, yang tadinya hanya
merupakan aktivitas bio-psikologis, berubah menjadi aktivitas sosial. Perang
antar suku, bahkan antar kerajaan bisa meletus akibat perselisihan berbasis
pada hubungan seksual. Pemenuhan kebutuhan senggama tidak lagi sederhana
seperti kebutuhan biologis seperti makan dan minum.
Tata cara sosial yang mengatur
senggama terus berubah. Manusia menciptakan konsep pernikahan. Aturan mengenai
konsep ini terus berubah. Sepuluh sampai 15 abad yang lalu seorang laki-laki
umumnya punya lebih dari satu istri. Itu masih ditambah dengan sejumlah budak
yang boleh ia setubuhi. Kini laki-laki dengan istri lebih dari satu sudah
menjadi minoritas, dan tidak ada lagi budak-budak yang boleh disetubuhi.
Ini masih terus berkembang. Senggama
adalah aktivitas reproduksi sekaligus rekreasi. Dulu keduanya bersatu dalam
satu paket. Orang ingin menyalurkan kebutuhan biologisnya, ia ingin rekreasi,
ia berada di bawah konsekuensi punya anak. Reproduksi adalah konsekuensi yang
tidak bisa dihindarkan dari sisi rekreasi seks. Karena itu, hubungan seksual
dibebani dengan tanggung jawab untuk menjaga dan merawat anak, sebagai akibat
dari hubungan seksual.
Ketika pengetahuan manusia
berkembang, mereka bisa memisahkan hubungan seksual antara yang bersifat
reproduksi dan rekreasi. Orang bisa bersenggama tanpa menghasilkan anak. Tentu
saja tetap banyak orang bersenggama untuk mendapat anak. Tapi tidak sedikit
yang hanya ingin mendapat kenikmatan rekreasinya saja.
Pernikahan dan anak, bagi sekelompok orang sudah
menjadi beban. Tidak semua orang ingin punya anak. Tidak semua orang ingin
menikah. Institusi pernikahan yang diciptakan manusia, mulai menjadi beban
dalam beberapa kasus. Orang kemudian mulai meninggalkannya.
Sejak pertengahan abad 20 orang-orang di Barat mulai
melakukan perubahan pola hubungan seksual. Mereka tak lagi mengharuskan
hubungan seksual berada di bawah institusi pernikahan. Itu terjadi bukan semata
karena dorongan nafsu birahi. Itu terjadi karena institusi pernikahan mulai
tidak cocok dengan pola kehidupan mereka. Pernikahan sering jadi beban
ketimbang solusi. Padahal secara biologis mereka tetap membutuhkan hubungan
seksual. Maka fungsi hubungan seksual dipilah. Yang sekadar ingin memenuhi
kebutuhan biologis, tidak perlu menikah.
Kalangan beragama banyak yang berkeberatan dengan hal
ini, karena mereka menganggap hal tersebut merupakan tindakan tak bermoral.
Anggapan tersebut salah, karena yang terjadi bukan tindakan tidak bermoral,
akan tetapi perubahan standar moral. orang-orang beragama ini lupa, bahwa orang
yang beragama seperti yang mereka anut sekarang, dulu menyetubuhi budak-budak.
Hal tersebut berbeda dengan anggapan standar sosial masa kini yang menganggap
itu tidak bermoral.
Hubungan seksual dengan cara baru tadi dianggap
seperti binatang. Sesungguhnya tidak, justru hal tersebut manusiawi, karena
dilakukan berdasarkan tuntutan struktur sosial. Standarnya berubah karena
struktur sosial berubah. Ingat, ini akan terus berubah. bukan tidak mungkin
anak-cucu kita nanti menerapkan pola hubungan sesksual yang kini kita anggap
tidak bermoral.
Good..☺☺
BalasHapus