Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2018

NEGARA MODERN TANPA TUHAN (MENELISIK PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN JOHN STUART MILL)

NEGARA MODERN TANPA TUHAN (MENELISIK PEMIKIRAN MONTESQUIEU DAN JOHN STUART MILL) Oleh: M. Afif al-Ayyubi, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta Percikan Kultur Renaissance Sejarah yang lazim disebut ‘modern’ ditandai dengan runtuhnya otoritas gerejawi (ketuhanan) digantikan otoritas sains. Otoritas gereja tadinya mendominasi kehidupan masyarakat dalam segala aspek. Baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Mengekang kebebasan berpikir karena doktrin gereja yang menyatakan bahwa menyelidiki alam sama dengan menyelidiki kekuasaan Tuhan yang dianggap dosa. Otoritas sains bersifat intelektual, bukan politis. Artinya tidak ada hukuman bagi mereka yang menolak otoritas sains, juga tidak ada nasihat-nasihat untuk membujuk masyarakat menerimanya. Dengan kata lain otoritas sains lebih diterima oleh masyarakat menggantikan otoritas gereja semata-mata karena daya tarik intrinsiknya bagi akal. Pembebasan dari otoritas gereja itulah yang mendorong tumbuhnya indi

MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT

MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT Oleh: Mario Prakoso, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta Kita harus mengakui, hari ini, filsafat benar-benar tersingkirkan dari pentas keilmuan dunia. Selaiknya kematian akademi Plato pada abad pertengahan akibat dibunuh oleh otoritas agawaman yang berselingkuh dengan penguasa, kini kejadian serupa berulang namun dengan subjek yang berbeda, sains. Membunuh filsafat adalah bukan dengan membatasi ruang geraknya atau menutup wahana kulturnya dan interaksi objek kajiannya, melainkan ditundukkan dalam ordonansi positivistik dan keniscayaan pasar. Mula-mula, para filosof adalah filsuf sekaligus saintis. Mereka banyak membicarakan alam dalam kerangka filsafat, atau filsafat dalam kerja alam, atau menyusun tesis antara filsafat dan sains dalam satu kesatuan holistik yang tak mungkin didikotomikan. Namun pada hari ini kita dapati keduanya berjalan terpisah, bersegregasi, bersebrangan demi menjaga prinsip linear dan interdisipliner ilmu, suatu

MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL

MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL Oleh: Mario Prakoso, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta “Harmonisasi Kebangsaan dalam Bingkai Keindonesiaan” Indonesia adalah tamansari bangsa-bangsa, demikian ungkapan Soekarno dalam mendefiniskan Indonesia. Tamansari bangsa-bangsa yang disebutkan Soekarno tentu saja bukan hanya slogan tanpa makna, melainkan berasal dari realitas sejarah serta sosial yang telah mengkristal dalam nilai keindonesiaan kita, bhinneka tunggal ika. Keharmonisan bangsa Indonesia di tengah-tengah kepluralan merupakan pencapaian yang luar biasa prestisius. Kita perlu berbangga menjadi bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi perbedaan. Dalam hal ini, realitas beragam macamnya suku, ras, bahasa dan agama, yang telah terbentuk ratusan tahun lamanya bukan dalam skema penaklukan, tetapi melalui asimilasi dan akulturasi yang tidak pernah terjadi di berbagai peradaban lainnya. Kita bisa melihat bagaiman Eropa dengan kolonialisme da