PASANG SURUT REKOGNISI AGAMA LELUHUR DALAM POLITIK AGAMA DI INDONESIA

PASANG SURUT REKOGNISI AGAMA LELUHUR DALAM POLITIK AGAMA DI INDONESIA
Oleh :Nur Amita Bachan 
Mahasiswa AQIDAH & FILSAFAT ISLAM IAIN Tulungagung


Penganut agama leluhur adalah sekelompok warga negara yang agama atau kepercayaannya dimaknai dan dipahami serta diberlakuhkan secara berbeda dari waktu ke waktu. Agama leluhur seperti halnya sebuah aliran penghayat kepercayaan dan masyarakat adat ini lebih merujuk kepada praktik-praktik keagamaan lokal (subjek materi) yang sering diklaim sebagai praktik animisme, magis, adat maupun budaya, dan seterusnya baik dalam wacana publik maupun linteratur (Maarif, 2016, 2017). Dimisalkan seperti sebuah praktik ritual-ritual sesajen yang diyakini dan dipercaya oleh beberapa penganutnya. Tetapi tidak keseluruhan dari para penghayat kepercayaan menerima sebagai penganut agama leluhur tersebut karena praktik ritualnya, melainkan dari berbagai pertimbangan mereka lebih suka jika praktik adat kepercayaan itu disebut sebagai budaya, dan bukan agama. Kategori Budaya dan Agama dalam konteks politik agama, sebenarnya keduanya merupakan konstruksi politik untuk menentukan siapa yang perlu dilindungi, dilayani, dan diakui.
Menelaah catatan panjang sejarah dari agama leluhur bangsa indonesia, sebenarnya subjek materi agama tersebut telah eksis sebelum Indonesia merdeka. Tetapi saat ini dinilai sebagai label yang primitive dan tidak masuk dalam daftar agama resmi Negara. Padahal dalam perkembangannya agama leluhur ini adalah agama asli nusantara, bukan agama lain yang impor dari berbagai Negara didunia. Pada konteks ini agama leluhur didiskriminasi oleh pemerintah dan berdampak bagi penganutnya kehilangan atas sebagian besar dari haknya disepanjang kehidupan, mulai dari upaya mendapatkan  KTP, akta kelahiran maupun nikah, hingga akses pada pekerjaan dan pendidikan. Sehingga agama leluhur dan agama yang diakui negara keduanya saling bertentangan, karena jika bertahan dengan agama leluhur maka akan berakibat fatal bagi keselamatan penganutnya. Namun poin terpenting disini bukan berarti pemerintah memaksa untuk para pemeluk agama tersebut untuk tidak mempertahankan kepercayaannya, melainkan demi terpenuhinya setiap hak warga negara untuk memiliki identitas dan memilih dari enam agama yang diakui negara. Tetapi bukan berarti setelah masuk dan memeluk dari sekian agama yang diperuntutkan, maka akan kehilangan agama leluhurnya. Agama leluhur dapat dipertahankan dan dijadikan rujukan otoritas religius atau spiritualitas masyarakat adat.
Dalam politik agama, penganut agama leluhur senantiasa menjadi target diskriminasi, penundukan, dan kriminalisasi. Negara memiliki undang-undang terkait hal tersebut, tetapi undang-undang tersebut seakan-akan tidak belaku sama sekali. Karena politik agama yang terlalu kuat mengakibatkan agama leluhur menjadi termarjinalkan dari agama-agama resmi yang lain,  karena berbagai argumen-argumen hukum yang menjustifikasinya. Bahwa agama resmi negara terlalu suci untuk disetarakan dan dijajarkan dengan agama leluhur.
Dinamika politik agama, berdampak pada pemaknaan agama leluhur, termasuk perlakuan negara terhadapnya. Dimana sejarah menyaksikan bahwa pada masa penjajahan belanda, masyarakat adat dan abangan merupakan sebuah kelompok penganut agama leluhur. Sebagaimana diutarakan beberapa catatan penting peneliti, bahwa agama tidak lain sama halnya dengan adat. Namun istilah Abangan dapat dikatagorikan sebagai varian islam (Geertz, 1960; Woodward, 1998), tetapi juga dijelaskan sebagai kelompok yang mempraktikkan tradisi lokal Jawa atau kejawen, yang menjadi target penundukan dalam politik agama, dimisalkan pertentangan antara kelompok santri vs abangan, dan seterusnya.
Pada tahun 1978 aliran kepercayaan sebagai nama untuk agama leluhur yang dibudayakan serta efektif hingga akhir rezim orde baru, dan seterusnya. Pada periode ini merupakan puncak dari politik agama, dimana penganut agama resmi berhasil menundukan dan mengkonversikan (mengubah) penganut agama leluhur yang dikenal sebagai pengahayat kepercayaan maupun masyarakat adat yang dibudayakan, berkewajiban untuk pindah ke agama resmi Negara, dengan alasan bahwa agama leluhurnya tidaklah “sah” sebagai identitas kewarganegaraan.
Politik agama dewasa ini adalah dampak dari rangkaian kontestasi (perlombaan) politik yang berlangsung sejak era penjajahan belanda. Kebijakan pemerintah belanda yang menjadi akar dasar dari upaya untuk menjadikan agama sebagai alat (politik agama). Pertentangan dan kontestasi antara kedua kubu, Islam vs adat maupun santri vs Abangan yang belanjut hingga menjelang kemerdekaan. Dan hal ini merupakan sebuah catatan besar bagi sejarah dari awal proses politik agama di Indonesia.
Diakhir abad ke-19, pemerintah belanda atas rekomendasi dari Christian Snouck Hurgronje mengeluarkan kebijakan pembedaan antara agama dan adat, untuk membendung dan mengatasi para pemberontak. Dan beberapa komunitas agama seperti ortodoks atau puritan menyetujui bahwa agama dan adat harus dibedakan dan dipertentangkan antara keduanya, karena umumnya mereka menganggap adat yang memiliki unsur budaya hanya akan mencemari agama. Namun dari keberagaman persepsi lain, beranggapan bahwa Agama dan adat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan atau bersanding, selama unsur adat tidak menggoyahkan prinsip-prinsip ajaran agama. Akibatnya kelompok adat dilembagakan oleh pemerintah belanda dan dianggap musuh oleh kelompok agama, karena ternyata adalah aliansi dari pemerintah belanda. Dan model kebijakan atau strategi  kepentingan pemerintah belanda ini disebut sebagai “politik belah bambu”: warga Negara pribumi yang dibelah dan dibedakan.
Selain pembedaan antara agama dan adat. “politik etis” atau politik balas budi merupakan kebijakan pemerintah belanda kedua yang dikeluarkan pada masa yang sama. Pada konteks ini belanda mencoba untuk menekankan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat pribumi dengan melalui sarana pendidikan Kristen yang diadopsi langsung sebagai bahan pembelajarannya, karena dirasa masyarakat pribumi telah banyak mengesploitasikan sumber daya yang ada di Indonesia. Tetapi semua itu hanyalah sebuah alibi belaka, dan disisi lain pemerintah belanda merasa dilematis, karena telah melembagakan kelompok adat yang identik dengan budaya animisme. Demi kemajuannya, pemerintah belanda mencoba merevitalisasikan kembali dari politik etis tersebut untuk memanfaatkan kelompok adat yang menurut Subagya adalah agama asli atau agama leluhur Indonesia, yang  dianggap sebagai sekumpulan orang-orang atau kelompok agama primitive, kolot dan animis (kruyt, 1915), untuk dikristenkan dan dimodernkan. Dari sini dapat kita ketahui bahwasanya konteks politik,  adat adalah lawan dari pada agama. dan kelompok adat dipersepsikan sebagai musuh dari agama, walaupun pada realitas saat ini antara kedua kelompok tersebut masih dapat berdialektika satu sama lain serta hidup secara berdampingan.
Tahun 1965 telah menjadi trending topik berlangsungnya tragedi madiun, yang menyisakan trauma bagi lawan politik PKI, termasuk kelompok islam, yang pada umumnya dikatagorikan sebagai kelompok “santri”. Pada peristiwa ini menjadikan  kekuatan tersendiri untuk kelompok militer dan PKI dengan instruktur rezim soekarno mencoba untuk bangkit dan berkembang. Tahun 1966, pembersihan kelompok PKI mulai dilakuhkan dengan dukungan langsung dari kelompok islam. Dan anehnya kelompok kebatinan maupun abangan mulai dicurigai dan dituduh dari bagian  kelompok komunis. Menyikapi hal tersebut seakan-akan menjadi sebuah kerancuan pada Negara ini hingga akhirnya rezim soekarno pun dilengserkan oleh masyarakat indonesia.
Setelah berahirnya rezim soekarno, kekuasan diambil oleh rezim orde baru, soeharto dengan sebuah kebijakan untuk meleburkan partai politik menjadi dua partai. Pada kepemimpinan rezim soeharto ini kelompok kebatinan mulai bangkit kembali dan dihimpun dalam satu wadah organisasi demi mendapatkan pengakuan secara legal dari Negara. Namun sebagai bentuk persyaratannya, kelompok kebatinan ini harus mengubah namanya menjadi ”kepercayaan” seperti yang terliahat sebelumnya.
Era reformasi merupakan wajah baru bagi Indonesia, yang ditandai dengan lengsernya rezim soeharto pada tahun 1998. Dari usainya orde baru, kelompok kepercayaan mulai ditiadakan lagi oleh pemerintah Negara, sehingga terjadilah diskriminsi dan hilangnya hak para penganutnya. Mereka dituduh sebagai komunis jika masih memakai lebel kepercayaan. Karena kepercayaan itu harus ditetapkan sebagai budaya, dan bukan agama, sehingga aliran kepercayaan dipaksa kembali untuk memeluk dari sekian agama yang diperuntutkan oleh pemerintah. Namun para aliran kepercayaan tersebut masih bersikeras menyuarakan dan menuntut haknya agar diakui serta diperlakuhkan sebagai mana mestinya agama resmi.
Nasib agama leluhur dewasa ini seakan berada diujung tanduk. Berdasarkan undang-undang tahun 2004 pasal 30 ayat (3) menyatakan bahwa status kepercayaan perlu untuk diawasi, karena dianggap membahayakan masyarakat dan Negara. Melalui undang-undang, sebenarnya Negara sadar akan perlakuan diskriminasi terhadap kelompok agama leluhur tersebut. Tetapi badan hukum masih tetap bersikeras pula dengan jargonnya undang-undang, bahwa penghayat atau kepercayaan selalu dicurigai dan diklaim sebagai kelompok berbahaya, walaupun pada faktanya adalah kelompok dari warga Negara yang memenuhi syarat agama jika agama meniscahyakan adanya elemen doktrin ketuhanan, sebagaimana dalam sila pertama pancasila.
Sejak tahun 2006 melalui UU Adminduk, dengan diikuti PP tentang pelaksanaan UU Adminduk (2007), Pespres (2008) dan PBM (2009), penganut agama leluhur menemukan momen kebangkitannya dengan putusan MK terkait status seorang anak yang lahir dari orang tua penghayat, berdasarkan perundang-undang orde baru “jika seorang anak lahir dari orang tua yang pernikahannya tidak dicatatkan, karena berdasarkan pada kepercayaan, maka nama orang tua diakte lahir hanya akan dituliskan nama ibunya saja”. Disisi lain peraturan menteri agama dalam negeri nomor 33 tahun 2012 tentang pedoman pendaftaran organisasi kemasyarakatan, dalam peraturan ini agama dan kepercayaan dibedakan, tetapi tetap diperlakuhkan setara.
Beberapa tahun setelahnya hingga saat ini, berdasarkan pencatatan kepercayaan, agama leluhur mencoba untuk mengajukan dan berharap kepercayaannya untuk dapat dituliskan di KK dan e-KTP mereka. Tetapi fakta pada pasal pengosongan agama dalam UU Adminduk tersebut, pengahayat tidak dapat mencatat kepercayaannya, karena pada dasarnya Negara masih melanggengkan stikma sosial (belum beragama, atheis, komunis, dan seterusnya) sebagai norma sosial. Dan hal tersebut mampu menjadikan tidak terlayaninya para penganut agama leluhur saat berhadapan dengan aparat sipil.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL

MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT

GAGASAN MANUSIA TENTANG SEKS