MEMPARODIKAN PENAMPAKAN MANUSIA

MEMPARODIKAN PENAMPAKAN MANUSIA
Oleh: Mario Prakoso, Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam IAIN Surakarta



George Bataille, seorang pemikir Prancis dikutip dari Yasraf, dalam Dunia Yang Dilipat-nya menuturkan dengan puitis keberadaan dunia saat ini tak lebih dari sebuah parodi:
            Setiap orang menyadari bahwa hidup adalah parodi dan karenanya miskin interpretasi
            Perunggu parodi emas
            Udara parodi air
            Otak parodi khatulistiwa
            Coitus parodi kejahatan
Sebenarnya apa yang dituturkan Bataille adalah analogi bahasa yang merupakan salah satu ciri dalam filsafat bahasa strukturalisme Ferdinand De Saussure. Melalui parodi yang diungkapkan oleh Bataille, secara tersirat ia hendak menyatakan bahwa dunia dengan segala bentuk kebudayaannya dibentuk berdasarkan satu sistem yang disebut dengan sistem oposisi biner. Logosentrisme yang kental dalam pemikiran Baitille ini seolah menandaskan jika dirinya pendukung filsafat yang dipopulerkan oleh Jacques Derrida belakangan. Dimana Derrida memaparkan bahwa kebenaran yang ada di dunia ini semata merupakan hasil logis dari adanya dua unsur yang bersifat oposisi biner. Yang satu merupakan alibi terhadap yang lainnya, yang lainnya merupakan superioritas terhadap yang satunya.
Kedudukan Barat/Timur, iman/kafir, pria/wanita, kaya/miskin, adalah oposisis biner yang tak bisa dipungkiri. Distingsi di dalam keduanya tak dapat membenarkan posisi tunggal keberadaan yang satu dengan yang lain secara dominan. Karena eksistensinya yang bineri tersebut tanpa bisa menyisihkan satu dengan yang lainnya, munculah apa yang dinamakan dualisme pemikiran. Dua unsur yang saling bertentangan namun saling mengisi, melengkapi, dan mengadakan satu dengan yang lain secara statis.
Tetapi Bataille kemudian menambahkan bahwa parodi itu tak hanya bersifat oposisi biner, akan tetapi bisa juga merupakan monolog, memparodikan dirinya sendiri. dalam hal ini, sesuatu merupakan parodi terhadap dirinya sendiri tatkala ia mengubah dirinya menjadi bentuk-bentuk yang menyimpang dari identitasnya sendiri. Penyimpangan ini, sebagaimana Bataille membahasakannya sebagai interupsi, dapat merusakan keseimbangan sistem genus, filosofis, bahasa dan seni. Yasraf lebih jauh mencontohkan bagaimana interupsi terhadap sistem, dimana penipisan ozon dapat merusak keseimbangan bumi, sama halnya obat bius yang dapat merusak sistem keseimbangan psikis. Demikian pula dengan penyimpangan seksual yang dapat merusak keseimbangan genus.
Parodi Identitas dalam Budaya Massa
Dewasa ini, secara tak sadar disaksikan tengah terjadi pembajakan dan penyalahgunaan identitas. Banyak didapati pria masa kini menggunakan anting, cat kuku, gelang, ikat rambut dan aksesori yang menjadi tanda kultural feminim. Seperti halnya wanita sekarang yang menjadi pembalap, binaraga, petinju dan pemain sepak bola sebagai identitas maskulin yang seharusnya disandang oleh pria. Pembajakan identitas itu terjadi karena manusia kehilangan kepercayaan diri, daripada percaya kepada dirinya sendiri manusia lebih optimis memilih mempecayai image, penampakan dirinya sendiri.
Ketika balita, manusia mengalami suatu fase perkembangan psikis yang disebut fase cermin (mirror phase). Lebih jauh Jaques Lacan menjelaskan dalam karangannya Ecrit, pada fase ini balita mengenali dirinya sendiri pertama kali dalam cermin. Apa yang ia lihat dalam cermin bukanlah dirinya sendiri sebagaimana yang ia rasakan melainkan representasi ideal yang direkonstruksinya melalui suatu mekanisme imaginary yang disebut ego-ideal, yaitu suatu mekanisme psikologis yang memampukan balita menilai dirinya sendiri sebagai objek dan subjek sekaligus. Akan tetapi, dalam mekanisme imajiner tersebut terdapat mekanisme imaji-diri lain yang selalu dikatan represif, disebut mekanisme ego-super. Berfungsi untuk menerima dan mencerna image di luar diri berupa representasi versi-versi hukum, aturan, tabu, dan lain-lain yang diidentifikasikan dengan dirinya sendiri yang dalam psikoanalisis disimbolkan dengan simbol bapak (father).
Super ego yang biasanya kita sebut sebagai kontrol diri untuk mengaitkan dan menyesuaikan image diri dengan mekanisme hukum, aturan, agama dan tabu apabila didekonstruksi, didevaluasi, diparodi dan diambil alih oleh sistem hukum dan bahasa media massa, terutama televisi, karena percepatan kapitalisme yang menyebabkan peran keluarga tak lebih dari induk semang tuna pengajaran, maka identitas kekuasaan, kedaerahan, ketimuran, kesukuan kewibawaan, maskulinitas, spiritualitas dan lain sebagainya hanya berdasarkan pada tawaran media massa yang tak lebih merupakan komodifikasi kehidupan sebagai perpanjangan tangan kapitalisme. Kebudayaan massa dalam hal ini kemudian lebih mendahulukan efek-efek provokasi dari image dan objek ketimbang apa yang disebut sebagi makna seperti agama, mitos dan ideologi. Akhirnya manusia sampai di ruang dimana manusia bebas menciptakan hukum, adat, tabu dan aturan, manusia bebas mensimulasi dan memparodikan dirinya sendiri.
Komoditas yang menguasai jalannya produksi dan distribusi menampilkan wajah manusia yang dipenuhi parodi, operasi plastik, sulam alis, cat rambut dan body atletis semuanya tak lebih dari ketidakpercayaan pada bentuk hukum, tabu dan agama atau Yasraf mengatakannya sebagai ketidakpercayaan pada diri sendiri sebagai produk hukum alam. Maka sudah dapat dipastikan sistem ekonomi kapitalisme yang dijadikan sebagai cermin dalam menentukan image diri yang selalu berkeinginan tampil berbeda sebagai titik tolak dan ideologi dalam sistem reproduksi sosial. Sehingga kemudian eksistensi pendidikan, estetika dan spiritualitas menjadi parodi bagi dirinya sendiri.
Pendidikan tidak lagi berkaitan dengan upaya-upaya pengembangan intelektualitas, kebijaksanaan dan moralitas tetapi suatu upaya mempersiapkan manusia menjadi komoditi, Calon-calon pekerja yang memenuhi permintaan pasar. Pendidikan hanya berisi kiat-kiat mendapatkan laba dan meminimalisir defisit, tak ada pembicaraan tentang humanisasi atau ekologi, karena penampakan keberadaan manusia lainnya tak ubahnya sebagai image profit dari bentuk diri yang hedonis. Pendidikan disimulai bertujuan menjadi serba praktis, sedangkan keberadaan pendidikan murni mengalami dekadensi dari segi peminat dan pemberdayaannya. sehingga pendidikan menjadi komoditas yang laku keras dipasaran yang memproduksi bukan saja hukum, agama dan tabu komodifikasi kapitalisme, tetapi juga mengartikulasikan cara memperoleh, mempertahankan dan mengembangkan kapital.
Demikian juga dengan spiritualitas yang tidak lagi berkaitan dengan bentuk penyadaran dan pengakuan transendensi, tetapi berganti menjadi parodi spiritualitas yang menjadikan fashion dan simbol sebagai jalan spiritual memotong orientasi transendensi horizontal antara manusia dan ilahi kepada manusia dan metafisis. Kekosongan diri diganti menjadi kepuasan metafisis yang bersifat nativisme, ketahayulan belaka. Manusia yang pada perjalanannya semakin modern, justru berbanding balik dengan kondisi spiritualitasnya yang semakin klenik. Laju percepatan kapitalisme dalam memproduksi budaya massa seperti film, senantiasa dibanjiri dengan tema-tema horor dan thriller yang seakan-akan membalikkan kondisi nalar manusia, hanya untuk memenuhi ekspektasi akan keberadaan imanen lainnya sebagai suatu uji adrenalin.
Bahkan estetika tidak lagi merupakan bentuk penggalian dan pengangkatan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan melainkan diparodikan untuk memenuhi popularitas yang mengekstasi manusia menuju pada nihilisme narsistik. Tingkat akumulasi kekaguman manusia pada dirinya sendiri yang bersifat artifisial memenuhi keinginan massa tanpa sekalipun mengindahkan moral dan etika sebagai esensinya. Maka terminologi estetika pun terparodikan, estetika itu apabila dikagumi oleh banyak orang tanpa sekalipun mengetahui apa maksud dari kekaguman itu, sehingga proses keindahan hanyalah suatu hasil dari keinginan khayalak tanpa sedikitpun membawa pesan-pesan estetis.
Maka parodi demi parodi ini menjadi fenomena penormalan yang abnormal, mentradisi dan terus menjadi konstruk sosial tanpa sedikitpun digugat atau muncul sikap kritis. Arus komodifikasi kapitalisme terlebih lagi menggiring wajah dunia untuk terus memparodikan diri. Selanjutnya terjadi subversi akal sehat yang meruntuhkan oposisi logis yang tetap berada pada kutub dikotomis. Sudah tak ada lagi baik/buruk, benar/salah, hitam/putih, pria/wanita, lingga/yoni dan malaikat/setan karena semuanya sudah berujung pada surealisme dunia yang mencampuradukan antara oposisi logis menjadi logika dunia yang terus menerus diproduksi massal. Irisionalitas dan rasionalitas yang tak mampu dibedakan lagi bentuknya. Tak ada lagi hitam putih, semuanya telah mengabu-abu, mengkelabu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMBUMIKAN FALSAFAH PANCASILA MEMBANGUN PARADIGMA MULTIKULTURAL

MODERNISME DAN KENIHILAN FILSAFAT

GAGASAN MANUSIA TENTANG SEKS